Rabu, 10 Juni 2009

KISAH PENELUSURAN KELUARGA ANAK HILANG
SAYA MAU JADI TENTARA, MAKANYA HARUS SEKOLAH

Berangkat dari Karawang, setelah penelusuran ke rumah salah seorang klien, kami, Tim Social Development Center (SDC) DEPSOS, menuju ke Bogor. Haryanto, bocah 10 tahun yang rumahnya akan kami cari tampak tegang selama perjalanan. Walau sudah meminum obat anti mabuk perjalanan, Anto, begitu panggilannya, tidak bisa tidur. Anak tersebut tetap membisu, saat kami mengajaknya bercanda dan memintanya bernyanyi.
Terik matahari siang itu, membuat kami semua yang ada di dalam mobil berkeringat. Hembusan angin dingin dari AC mobil tidak banyak berarti. “Waduh, gue udah bau matahari nih,” ujar Mba Leny, yang kebetulan duduk di sisi mobil, yang terkena terpaan sinar matahari. Kendati peluh sudah mulai membasahi baju, antusias mencari rumah Anto tidak berkurang. Wajah Uni Vivi, Mba Leny, dan Uci memperlihatkan antusiasme tersebut. Begitupun dengan Fedi, walau baru tidur 3 jam pada malam harinya, tidak ada rasa kantuk sedikitpun saat mengendarai kendaraan yang kami tumpangi.

Takut Tidak Bisa Menemukan Rumah
Bogor semakin dekat. Wajah Anto semakin tegang. Begitupun dengan kami, semakin was-was tidak bisa menemukan lokasi, karena bocah tersebut tidak ingat dengan tempat tinggalnya dulu. “Dari Baranang Siang naik angkot apa Anto?” tanya Uci, mengulang pertanyaan yang sama. Sekali lagi anak tersebut menjawab, “Warna merah”.
Kami pun keluar di pintu tol Bogor. Sesampainya di depan terminal Baranang Siang, mobil sengaja berjalan sangat pelan. “Coba Anto, diingat-ingat,” ucap Uni Vivi. Namun, sekali lagi anak tersebut tidak ingat apa-apa. Anto hanya menggeleng. “Rumah saya dekat masjid, dan belokan. Terus jalannya naik turun,” ujarnya datar.
Mendapat penjelasan seperti itu membuat kami semakin bingung. Uni Vivi yang sudah biasa pulang-pergi Bogor turut bingung. Menurutnya, di Bogor tidak ada angkot berwarna merah. Begitupun dengan penjelasan, dekat masjid dan belokan serta jalan naik-turun. Betapa banyak lokasi seperti yang dituturkan Anto di kota Hujan tersebut. Mungkin ada ratusan masjid, dan entah berapa banyak belokan atau jalanan naik-turun.
Di tengah kebingungan, Anto mengatakan, rumah saya dekat puncak. Bak oase di tengah padang pasir, penjelasan itu cukup meyakinkan kami mengarahkan kendaraan ke arah Tajur, menuju Ciawi. “Rumah Anto memangnya dekat pasar yang jual tas kulit atau ikat pinggang,” tanya Fedi. Dengan nada tidak yakin, Anto menjawab iya. Kendati begitu, ketidakyakinan anak itu, membuat kami semakin yakin menuju Tajur.
Sesampai di Tajur, Anto kembali tidak ingat apa-apa. “Coba Anto ingat-ingat, Anto pernah main dimana,” tanya Mba Leny. Dengan wajah bingung, bocah lugu tersebut hanya bisa mengatakan tidak ingat lokasi yang kami lewati. Ia lebih banyak menggeleng, atau memperlihatkan wajah takut, takut tidak bisa menemukan rumahnya.

Berkat Patung Macan
Sesekali Anto terlihat antusias saat membicarakan rapor yang akan kami ambil di rumahnya. “Saya ingin jadi tentara pak. Kalau mau jadi tentara kan harus sekolah ya,” ujarnya kepada Fedi. “Iya, makanya Anto ingat-ingat ya, dimana rumah Anto,” timpal Fedi. Dengan perlahan, kendaraan pun terus melaju menyisir jalur Baranang Siang – Ciawi.
Begitu sampai Ciawi, Uci yang merupakan pendamping Anto bertanya sesuatu. “Anto, macannya itu atau bukan,” tanyanya sambil menunjuk patung macan di perempatan Ciawi. Dengan ragu bocah tersebut mengangguk pelan. “Ini Unida ya,” tanya bocah yang diperkirakan sudah 3 tahun terpisah dari keluarganya tersebut. Pada saat itu pula kami semua melihat ada spanduk besar Unida, dan cukup membuat kami yakin menempuh jalan yang benar.
Karena tidak bisa memotong jalur menuju Gadog, Puncak, kami berputar arah di jalan menuju pintu tol Ciawi. Tidak lama setelah berbelok ke arah Gadog, Anto berkomentar dengan nada semangat. “Ibu, saya pernah lewat jalan sana. Kan di sana ada tukang bubur,” ucapnya sambil menunjuk ke suatu arah. Mendengar itu, kami semua tidak kalah semangatnya.
“Benar Nto,” tanya Uni Vivi seolah tidak percaya. Laju mobil kembali diperlambat. Klakson dari kendaraan belakang, sudah tidak kami hiraukan. Saat jalan semakin lebar, sambil berjalan perlahan, barulah kami menepikan kendaraan, agar tidak mengganggu mobil belakang yang semakin tidak sabar.
Namun sekali lagi, Anto tidak terlalu ingat dengan wilayah yang kami lewati. “Anto ingat tidak kantor polisi itu,” tanya Fedi. Sekali lagi, bocah yang kulitnya terbakar matahari tersebut menggelengkan kepala. Saat kendaraan memasuki pertigaan Tapos, kami memperlambat kendaraan. “Rumah Anto ke arah sana bukan,” tanya Mba Lenny. Dengan nada ragu, bocah itu mengiyakan. “Kayanya iya deh bu.”
“Benar Nto,” tanya Uci ingin memastikan. Dengan wajah takut dan ragu-ragu, Anto menganggukkan kepala. Karena bocah tersebut sangat ragu, Fedi memutuskan melihat lokasi ke arah Puncak. “Coba kita lihat dulu ke arah Puncak. Siapa tahu rumahnya di Cipayung atau Cisarua. Kalau tidak ada nanti kita balik lagi,” tuturnya penasaran.
Saat memasuki perempatan Gadog, kami kembali bertanya kepada Anto. “Anto pernah main di sekitar sini atau tidak.” Mendapat pertanyaan tersebut, bocah itu hanya menggeleng. Saat mobil menanjak ke arah Puncak, sangat jelas anak itu tidak pernah melihat lokasi yang kami tempuh.

Dibawa Polisi Ke Cipayung
Kami pun memutuskan kembali ke arah Tapos. Setelah berbelok di pertigaan Tapos, mesin mobil dipaksa bekerja keras menapaki jalan menanjak yang menghadang di depan. Saat kami masih bertanya-tanya dalam hati, apakah benar ini jalan menuju rumah Anto, bocah tersebut berkata dengan nada datar. “Nanti di depan belok kiri,” katanya singkat.
Benar saja, di depan terdapat pertigaan, belok kanan menuju Sukabumi dan belok kiri menuju puncak. Karena telah mendapat penjelasan Anto untuk belok kiri, kami sangat bersemangat. Harapan untuk menemukan rumah keluarga anak tersebut semakin kuat. “Hebat Nto, bagus… terus diingat-ingat ya,” ujar kami semua sambil tertawa.
Belum lagi Anto mengatakan, “Saya waktu pergi lewat sini.” Bocah tersebut pun menambahkan, kepergiannya beberapa tahun silam dengan berjalan kaki dari rumah hingga jalan tol. Sampai akhirnya ia ditangkap polisi, dan dibawa ke Cipayung. Selepas dari Cipayung, keinginan kuat mencari sang ibu, membuatnya tetap bertahan di Jakarta. Atas ajakan seorang teman yang sama-sama baru keluar dari Cipayung, Anto pergi ke Galur, Senen. Disinilah awal mula pengembaraan bocah kecil tersebut sebagai pengamen dan kenek metromini.

Salah Arah
Cerita Anto tentang jalan yang pernah dilaluinya saat lari dari rumah semakin meyakinkan kami. “Nanti di depan ada jurang,” tuturnya singkat. Benar saja, tidak lama kemudian terlihat sebuah jurang dengan ketinggian 10 meter, dan dibawahnya terdapat sebuah aliran air kali.
“Benar loh ada jurang,” pekik Uni Vivi kegirangan. Setelah 10 menit perjalanan dengan rasa optimisme yang besar berlalu, kami melewati sebuah pasar. “Ini pasarnya,” ujar Anto bersemangat. Spontan saja, hal tersebut membuat kami semua berteriak senang. Kami tertawa, seolah-olah pasti menemukan rumah bocah tersebut.
Masih dalam lingkungan pasar, terdapat sebuah pertigaan. Lurus, dengan jalan lebih kecil, dan ke kanan ruas jalan terlihat lebih besar. Saat ditanyakan kepada Anto, anak tersebut menyarankan untuk belok kanan. Perjalanan semakin jauh, tapi justru tidak ada petunjuk sama sekali seperti sebelumnya.
Wajah Anto terlihat bingung dan takut. “Tenang Nto, kita pelan-pelan aja. Namanya juga nyari. Coba Anto ingat-ingat lagi,” tutur Fedi, sambil memperlambat kendaraan. Tetap saja, tidak ditemukan petunjuk. Pada saat sebuah pertigaan menghadang di depan kami, anak itu semakin bingung. Ia tidak tahu harus mengambil jalur yang mana.
Kami pun memutuskan berhenti dan Fedi mengajak Anto turun. Kami berharap anak tersebut bisa ingat sesuatu. Bukannya ingat, mimik Anto justru semakin memperlihatkan kalau ia sedang bingung. Kami memutuskan untuk bertanya pada tukang ojek yang sedang mangkal di pojokan jalan tersebut.
Mendapat pernyataan kalau saya sedang mengajak anak yang hilang beberapa tahun membuat suasana desa yang hening menjadi ramai. Beramai-ramai tukang ojek dan penduduk sekitar mengitari Fedi dan Anto. “Saha nama bapak-na,” tanya salah satu tukang ojek dengan logat Sundanya.
Pertanyaan sejenis tentang alamat, nama ibu dan sejenisnya ternyata membuat Anto takut. Bocah kecil tersebut merapat ke tubuh Fedi, seolah mengajak untuk segera pergi dari sana. Fedi pun merespon dengan menarik tubuh mungil Anto ke arah mobil. “Terima kasih kang, saya balik aja ke sana. Mungkin rumahnya dekat pasar yang sudah kami lewati tadi,” ujar Fedi sambil pergi.

Pertemuan Mengharukan
Kami pun berbalik arah. Sesampai di pertigaan pasar, kami mengambil arah lainnya. Benar saja, baru 100 meter, Anto langsung ingat sesuatu. “Pak nanti jalannya belok kanan terus belok kiri,” ujarnya sambil menggerakkan tangan, menunjuk arah. Suasana di dalam mobil kembali ceria, suara tawa yang sempat hilang pun terdengar.
“Anto ini sekolahnya atau bukan,” tanya Uni Vivi, di tengah suara tawa yang masih terdengar. “Bukan, sekolah saya gerbangnya besar,” jawab bocah tersebut yakin. Tidak lama berselang, anak itu kembali ‘mengoceh’, kalau ia pernah melewati jalan yang kami lewati. “Itu kan rumah teman saya,” tambahnya lagi sambil menunjuk sebuah rumah di tepi jalan.
Kami semakin bersemangat. “Tuh kan, kalau Anto rajin shalat, rumahnya bisa ketemu. Terus berdoa ya Nto,” ucap Uci. Setelah beberapa menit perjalanan, terlihat sebuah sekolah lainnya. “Nah ini sekolah saya,” tutur Anto kegirangan. “Di depan belok kiri,” tambahnya.
Kami pun mengambil arah kiri. Baru 150 meter, tiba-tiba anto memekik, “ini rumah saya.” Spontan Fedi menginjak pedal rem. Mobil pun berhenti tepat di depan rumah permanen tersebut. Tanpa komando, Anto membuka pintu dan melompat keluar mobil. Dengan sedikit ragu, bocah kecil tersebut melangkahkan kaki menuju teras rumah. Kami pun bergegas mengikuti langkah Anto menuju teras rumah.
Belum sempat memperkenalkan diri, seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan kami. Ia langsung histeris saat melihat Anto. “Ya Allah.. Haryanto. Kemana aja kamu,” ucapnya sambil menangis memeluk Anto. Bocah kecil tersebut pun ikut menangis memeluk ibu tersebut.
Sang ibu pun segera memanggil keluarga yang lain. Teriakan yang keluar dari mulut ibu tersebut ternyata mengundang perhatian para tetangga. Dalam sekejap rumah berukuran 6 x 8 meter tersebut dikerumuni banyak orang, dan semakin banyak pula yang menangis. Begitu pula dengan Anto, Air mata semakin banyak menetes di pipi bocah kecil tersebut.
Suasana haru pecah. Kami, Tim SDC pun tak kuasa menahan tangis. Rasa lelah setelah berkeliling seharian dari Karawang hingga Bogor, sekejap hilang. Kami berempat terlena dalam suasana bahagia.
Tangis bahagia dari orang-orang yang berada di teras rumah tersebut berlangsung beberapa menit. Sampai akhirnya seorang bapak tua mengatakan, ini kok tamunya dibiarkan di luar, ayo suruh masuk. Uni Vivi, Mba Lenny, dan Uci dipersilahkan duduk di sebuah bangku panjang tua. Sedangkan Fedi, duduk di bangku sejenis yang berada di samping bangku pertama.
Karena syok, Anto memilih duduk dekat Fedi. Pada satu jam pertama, bocah tersebut terlihat takut berkomunikasi dengan keluarganya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30. Fedi pun mengajak Anto Shalat di masjid dekat rumah. Di sini terlihat jelas, anak itu telah terbiasa berada di lingkungan tersebut. Dengan langkah meyakinkan, Anto menuju masjid, masuk ke ruang wudhu dan segera shalat berjamaah.

Ragu Untuk Tinggal Atau Pulang Ke SDC
Selepas Shalat Anto dan Fedi kembali ke dalam rumah. Di sinilah kami mulai bercerita awal mula Anto bisa berada di SDC. Saat anak tersebut datang pada acara Terminal, yang diadakan oleh SDC Mei 2008 lalu. Di tengah cerita kami, Anto ternyata mengajak pulang. “Pak, ambil rapornya terus kita pulang ke SDC,” ujarnya ringan.
Mendengar pernyataan Anto tersebut, bibi Anto mengatakan, “Anto tinggal aja di sini. Nanti malam mimi (ibu Anto) pulang, dan besok kita ke Jakarta.” Mendengar hal tersebut, Anto sempat ragu, apakah akan tinggal atau ikut pulang ke SDC. Setelah perdebatan cukup lama, akhirnya Anto memutuskan pulang.
Hal ini disetujui oleh sebagian besar keluarga, kecuali sang bibi yang terlihat masih kangen kepada keponakannya itu. Bibi Anto terus berusaha menghubungi adiknya tersebut, tapi tidak kunjung tersambung. Dengan menghubungi ibu Anto, sang bibi berharap Anto bisa bicara dengan ibunya dan mau untuk menginap malam itu.
Sedangkan sebagain besar keluarga setuju agar Anto ke SDC berdasarkan pertimbangan, Anto pergi dari rumah untuk mencari ibunya. Jika sampai malam itu ibu Anto tidak pulang, seperti yang dijanjikan, bisa jadi Anto pergi lagi dari rumah.
Keluarga pun berjanji akan datang ke Jakarta setelah berhasil menghubungi ibu Anto. Kami pun pulang dengan perasaan puas dan bahagia. Tapi jelas, malam itu adalah milik Anto. Sepanjang perjalanan bocah tersebut terus bernyanyi, hal yang tidak biasanya ia lakukan.

Bahagia Bertemu Mimi
Sehari kemudian, Anto tampak gelisah di SDC. ia selalu bertanya perihal ibunya. “Pak kapan mimi datang,” tanyanya pada Fedi. Mendapat pertanyaan seperti itu, Fedi hanya bisa mengatakan agar Anto sabar dan banyak berdoa. Pun pagi hari berikutnya, anak tersebut selalu bertanya kapan ibunya akan datang.
Ternyata, waktu yang ditunggu Anto tiba. Tepat waktu Dzuhur, sang ibu datang bersama keluarga besarnya. Melihat kedatangan tersebut, sambil berlari, Anto menghampiri sang ibu yang masih berada di gerbang SDC, pelukan erat langsung menyambut bocah kecil itu. Sekali lagi, tangis pecah dari mata Anto, sang ibu, dan keluarga lainnya. Anto terlihat bahagia bertemu dengan Mimi-nya.
Saat menemui staf SDC, keluarga saat berterima kasih karena telah menolong Anto. Menolong Anto dari jalanan, saat anak mereka yang masih berusia 10 tahun harus berjuang mencari sesuap nasi dengan mengamen dan menjadi kenek. Saat anak tersebut harus tidur beralaskan kardus, beratapkan jembatan dan langit, serta berselimut udara dingin Jakarta.
Siang itu, pihak keluarga pun memutuskan membawa Anto pulang ke rumah. Namun, pihak keluarga tidak menutup kemungkinan membawa anaknya kembali ke SDC. Mereka berharap Anto bisa mendapat pendidikan yang baik, hingga kelak bisa menjadi tentara seperti yang dicita-citakannya.

Penelusuran ke Karawang
Lain dengan Anto, Muhammad Rizky (9) sangat hafal dengan rumahnya di Karawang, tempat yang Tim SDC kunjungi pertama. Saat berada di tol JORR, anak tersebut masih tampak bingung. Namun, saat masuk ke tol bekasi, ia langsung tahu sedang berada di mana. “Iya, ini jalannya,” tutur Rizky, dan langsung membuat kami semua tersenyum.
Bahkan, dengan lugas Rizky mengatakan kami harus keluar di tol Karawang Barat. “Terus aja, nanti lewat Badami,” ucapnya. Kami sempat tidak mengerti apa itu Badami. Tapi, karena anak itu begitu yakin menunjuk arah, kami hanya mengikuti. Sesampai di kota Karawang, Rizky pun mengarahkan kami ke arah pasar Johar.
“Rumah saya masuk ke dalam gang itu,” ujar Rizky sambil menunjuk sebuah jalan kecil. “Tapi terus aja, nanti parkirnya di belakang. Belokan depan belok kiri,” tambahnya yakin. Begitu sampai di sebuah tempat, saat ada tanah agak luas, Rizky mengatakan agar kami memarkir mobil di sana.
Ketika mobil sudah berhenti, Rizky segera turun, dan kami segera mengikuti langkah bocah tersebut. Ia masuk ke sebuah gang, dan baru berjalan 20 meter ia belok kiri dan langsung sampai di rumahnya. Tanpa ekspresi anak itu masuk ke dalam rumah. Sang ibu yang melihat kami berempat memakai seragam DEPSOS berwarna hijau, segera menutup pintu.
“Assalamualaikum,” Ucap Uni Vivi. Mendengar ucapan salam tersebut, sang ibu segera keluar rumah, masih dengan wajah takutnya. Menyadari hal tersebut, kami menjelaskan kedatangan kami untuk mengantar Rizky. Setelah berbincang-bincang cukup lama, sang ibu yang bernama Rohaya memutuskan agar Rizky tetap tinggal.
“Saya tanya bapaknya dulu. Kalau nanti boleh, saya ingin Rizky di SDC saja. Soalnya lingkungan di sini kurang baik. Takut Rizky terpengaruh,” ucapnya menjelaskan. Sang anak yang memang penurut hanya mengangguk, tanda setuju.
Dua hari kemudian, saat SDC menghubungi keluarga Rizky, mereka mengatakan akan mengantar anak mereka ke SDC. Setelah terputus di kelas 4 SD, sang ayah menginginkan anaknya bisa sekolah lagi di kelas 5. Daripada mengamen, seperti yang selama ini Rizky lakukan, ia berharap, dengan berada di SDC, anaknya bisa mendapat pendidikan yang baik. (Tim SDC)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar